Arti Pakaian Marapulai

Dari berbagai macam perlengkapan pakaian kebesaran adat yang harus di pakai oleh seorang marapulai pada wakti dia di jemput sebagai urang sumando, berdasarkan kenyataan yang ada di dalam masyarakat tidaklah seluruhnya tersebut di gunakan


Berbagai ragam pakaian marapulai yang dibiasakan pada masing-masing nagari dalam Luhak Nan Tiga, antara lain ada yang memakai baju gadang basiba dengan sarawa guntiang ampek atau sarawa panding aceh, bahkan ada pula yang memakai pakaian ala Tuanku Lareh, yaitu stelan jas dan pantolan hitam bertahtahkan benang emas dengan pisang  sasikek di bahu  kiri kanan.


Namun, apapun macam pakaian yang di pakai menurut kebiasaan tiap-tiap nagari,
"tanamo urang tigo luhak,
buliah mamakai kasamonyo,
ragam pakaian nan ba'itu,
mano baju katuju pado mato,
buliah di tiru dituladan,
buliah dipakai kasamonyo,
asal lai tibo dibarihnyo,
indak lah itu dilarangan,
sabab urang nan tigo luhak,
badunsanak kasamonyo,
mano katuju pado hati,
bulaih dibuek dilakukan,
ala lai tumbuah ditanahnyo.


"Saluak kain sisamping, keris dan tongkat", adalah merupakan unsur pokok dalam pakaian kebesaran adat. Keempat macam perlengkapan termaksud addalah merupakan pakaian kebesaran pemimpin masyarakat adat di Minangkabau. Perlengkapan kebesaran itu dipakaiankan kepada seortang marapulai adalah dengan maksud :

1. Bahwa mulai hari itu, dia dengan resmi memasuki status seorang dewasa, dengan menyandang gelar pusako yang di perturun-penaikan selama ini di dalam suku, payung dan kaumnya

2. Dengan menyandang gelar pusaka dan memakai pakaian kebesaran pemimpin masyarakat adat tersebut, maka mulai hari itu pula dia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin dalam menjalani liku-liku hidupnya.
Pemimpin,  dimaksudkan adalah baik sebagai langkah pertama dalam persiapan untuk menjadi seorang pemimpin adat dalam payung sukunya maupun dalam fungsinya sebagai pemimpin rumah tangga dengan dan anak-anak yang diturunkan.

3. Dalam pelaksanaan kepemimpinannya itu, dia harus menghayati falsafah yang terkandung dalam pakaian kebesaran yang dipakainya dan melaksanakan dengan baik semua hak dan kewajiban serta tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ajaran adat yang tersimpul dalam setiap macam pakaian tersebut.

4. Dengan menyandang gelar pusaka, marapulai tersebut harus menyadari bahwa dia adalah merupakan "Seorang Duta" dari suku dan kaumnya. Dia harus menyadari bahwa seorang duta kaum familinya akan selalu menjunjung tinggi martabat suku dan kaum nya selama dia berfungsi sebagai urang sumando di dalam rumah kepunyaan suku dan kaum isteri nya dan di dalam korong kampung dan nagari. Hal itu dilambangkan dengan pemakaian salauk diatas kepala.

5. Bahwa marapulai dijemput orang jadi urang sumando, hendaklah disadarinya perihal urang sumando tersebut, ialah sumando ke korong kampung, kawin dengan ninik mamak, nikah nyata dengan perempuan. Hal itu bisa terjadi karena sekata dulu ninik mamaknya, sepakat ibu bapaknya.


Maka oleh karena itu, hendaklah diketahuinya condong yang akan menimpa, ranting yang akan menyangkut ataupun pantangan dan larangan. Denngan tujuan agar tercapai maksud tersebut di atas. dipakainlah pakaian kebesaran yang bernama " Kain Sisamping" itu kepadanya.


Sumber : Adat Marapulai
             Karangan Bahri Rangkayo Mulia
             Buletin Sungai Pua No. 24 Maret 1988